Perbincangan berlanjut. Siang itu di hari Senin (27/3/2022) kami dari Komunitas Tajdid Pendidikan mengangkat tema perbincangan pendidikan di era reformasi. Perbincangan dengan tema ini kami angkat, karena era reformasi membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk aspek pendidikan salah satunya yang mengalami perubahan. Bidang pendidikan di mana sebelum reformasi serba sentralistik, begitu reformasi muncul keadaan desentralisasi harus di hadapi pendidikan.
Termasuk aspek peran serta masyarakat dalam pendidikan tumbuh bak jamur di musim hujan. Bagaimana latar belakang dan peran sosial dari masyarakat dalam pendidikan serta strategi apa yang digunakan untuk mewujudkan eksistensi keberlanjutan dakwah pendidikan, menjadi obrolan kami di siang itu. Berikut kami rangkum perbincangannya di komunitas.
Mengawali perbincangan, kami mengupas latar belakang. Bahwasannya kelas menengah muslim atau middle class moslem muncul sejak Orde Baru (1990-an). Mereka merupakan kelompok masyarakat baru. Kelompok masyarakat ini muncul difasilitasi oleh keberhasilan pembangunan ekonomi dan pendidikan dari modernisasi Orde Baru. Sejak era 1980-an, Indonesia memiliki sejumlah besar tenaga ahli (skilled man-power) yang terdiri dari manajer, profesional terlatih, teknisi, guru dan dosen. dan berbagai SDM yang berkualitas.
Berdasarkan profesi, kelas menengah ini kemudian menjadi kelompok penting di birokrasi pemerintah dan juga sektor swasta. Beberapa pengamat seperti Hefner, Kuntowijoyo, Arief Budiman, Ramage berkesimpulan bahwa kelas sosial ekonomi baru telah muncul secara fenomenal di Indonesia. Mereka muncul sebagai sebuah kelas menengah yang terdapat akademisi, cendekiawan, reformis, intelektual, pengusaha muda, pengacara, politisi, aktivis kebudayaan, teknokrat, aktivis LSM, dai, publik figur, presenter,
pengamat, ujar Zaki.
Kemunculan kelas menengah ini diikuti pula oleh peningkatan semangat pada kehidupan agama. Fenomena ini terjadi era 1980-1990 ketika kaum menengah Islam bangkit untuk ke semangat keagamaan di wilayah perkotaan yang tersentuh oleh pembangunan ekonomi dan perubahan sosial secara intens. Fenomena memiliki efek domino pada peningkatan ketaatan beragama.
“Kelas menengah Muslim ini muncul dari proses urbanisasi yang terjadi sejak tahun 1960-an. Industrialisasi dan pembangunan yang sentralistik telah mendorong urbanisasi kaum santri dari desa ke kota. Mereka dihadapkan dilema antara tuntutan menjadi modern yang berpotensi alienasi dan dislokasi, dengan bagaimana mempertahankan akar budaya
santri dengan resiko “kehilangan” modernitas,” ujar Zaki di tengah-tengah obrolan.
Hal ini menjadi dilema bagi kaum santri urban. Mereka merasa sakit untuk sepenuhnya modern dan meninggalkan tradisi. Jika meminjam terminologi Huntington, Mereka menghadapi situasi “Islamist symbols, commitment, and beliefs meet these psychological needs.”.
Maka terdapat lima fenomena yang terjadi kelas menengah muslim 1990-an. Fenomena ini muncul sebagai presentasi kultural kelas menengah muslim yaitu:
- Jilbab sebagai peneguhan identitas Islam
- Bermunculan lagu-lagu Islam (Bimbo, Nasyid dan Kasidah) yang sesuai selera kelas menengah,
- Berdiri Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI),
- Penerbitan media Islam
- Kajian Islam di lokasi prestisius seperti di rumah pribadi dan hotel berbintang.
Kelima fenomena dilihat tidak hanya sekadar bukti telah meningkatnya ekspresi keagamaan dan gejala kebangkitan Islam. Fenomena lebih dari itu yang disebut Bourdieu sebagai “reproduksi kultural” (cultural reproduction) yaitu investasi sosial yang secara generatif (terus-menerus) dilakukan dan secara perlahan kemudian meneguhkan terbentuknya sebuah identitas kelas baru yaitu kelas menengah muslim.
Muhammadiyah sebenarnya telah mengalami yang dinamakan “reproduksi sosial”. Muhammadiyah telah menjadi Islam Modern yang membentuk identitas baru yaitu Islam berkemajuan. Akan tetapi, kaum menengah muslim yang dimotori oleh generasi muda Islam mereka bergerak dengan sangat cepat termasuk di bidang pendidikan. Sebagai bukti, awal 2000-an, Sekolah Islam bak cendawan di musim hujan. Pendidikan Islam yang dahulu didominasi oleh Muhammadiyah dan NU. Maka muncul sekolah-sekolah Islam yang baru di bawah naungan berbagai yayasan dan aliran. Kita melakukan sampling di kota Surakarta maka telah muncul berbagai sekolah Islam. Antara lain :
- Yayasan “Al-Islam”
- Yayasan Batik
- Muhammadiyah
- Sekolah PK Kottabarat
- SD Muh 1 Ketelan
- SD Muhammadiyah Alam Surya Mentari
- Al-Abidin
- Ta’mirul Islam
- Nur Hidayah
- Al-Azhar
- Al-Azhar Syifa Budi
- Insan Mulia
- Al-Khoir dsb
Di akhir perbincangan, kesimpulan yang diperoleh adalah sekolah Muhammadiyah harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Apabila tidak mampu beradaptasi maka bersiap menghadapi kehancuran. Sekolah Muhammadiyah yang berhasil beradaptasi, maka akan berlanjut keberlangsungan hidup dan manfaat kepada umat. Strategi yang dapat dilakukan adalah membangun jejaring, merumuskan segmentasi sehingga ada program unggulan yang menjamin kontinuitas dan tentu saja kreatif, inovatif dengan visi yang kuat sangat dibutuhkan bagi sebuah lembaga pendidikan untuk eksis dan memberikan manfaat bagi umat. Demikian, Hendro menutup perbincangan pada siang itu.
Ditulis oleh : Zaki Setyawan & Hendro Susilo (Komunitas Tajdid Pendidikan)
Diskusi