Diskusi dan sharing pengelolaan pendidikan bersama akademisi Nanyang Polytechnic Singapura berlanjut sampai hari ke -10. Tema Pengembangan sumber daya manusia untuk pertumbuhan ekonomi, membangun cara berfikir positif siswa dan membudayakan berfikir reflektif menjadi pembicaraan yang menarik untuk kita dalami.
Seperti halnya paparan yang disampaikan oleh Anthony Woon, salah satu akademisi di kampus NYP terkait keterampilan yang dibutuhkan masa depan, sangat tergantung sistem dan pendekatan pendidikan yang dilakukan. Memang, Singapura fokus pada peningkatan kompetensi warga negara, terutama dalam hal digital intensif untuk menopang perekonomian negara tersebut.
Koneksi antara pendidikan dan tantangan dunia nyata untuk mempersiapkan siswa agar bisa menunggangi perubahan zaman perlu dilakukan. Membangun kapabilitas yang kuat dalam menjawab tantangan zaman bisa dipersiapkan melalui pengelolaan pendidikan dengan pendekatan holistik terintegrasi dengan berbagai disiplin ilmu.
Tahap melangkah maju dan melompat dalam pengembangan sumber daya manusia dan lembaga bisa dilakukan dengan cara bagaimana lembaga bisa Manage Change, Collaborate and learn from other, innovate and be different. Demikian, Mr Anthony Woon memberikan pandangannya kepada kami.
Coaching Students
Perbincangan selanjutnya mengenai tema Coaching Students. Coaching is about amplifying our choices and making inner resources available, demikian Ms Evangeline Chen mengawali diskusi bersama. Dalam tema ini, saya mengambil pelajaran penting tentang kecerdasan emosional dan spiritual siswa yang perlu mendapat perhatian sekolah.
Peran guru sangat strategis dalam pelaksanaan pembelajaran yang menghasilkan pengebangan kognitif, afektif, dan psikomotorik secara berimbang. Dimensi-dimensi proses pendidikan terkait kepribadian, nilai-nilai yang diinginkan, dan kecerdasan emosional perlu sentuhan walaupun perkembangan teknologi sangatlah cepat. Jadi, peran guru tetaplah dibutuhkan dalam memandu proses-proses tersebut.
Coaching Students ini berbicara bagaimana kemampuan mengatur emosi siswa dari yang tidak berdaya dan putus asa menjadi tenang dan lega. Termasuk dari segi kognitif dari siswa yang merasa bingung menjadi berfikir positif. Siswa perlu dilatih bagaimana merubah emosi dan pikiran negatif menjadi energi positif. Kehadiran seorang guru harus menjadi pemantik dan agen perubahan. Guru yang mengajar baik ibarat orang yang sedang menyalakan api, semakin lama api akan membesar dan membuat siswa bersemangat dan terus “menyalakan” api semangat belajar.
Di sesi terakhir, kami juga berdiskusi terkait reflective thinking. Narasumber diskusi adalah David Wong, akademisi NYP lulusan University of Birmingham (UK). Ulasan yang memaparkan perbedaan berfikir kritis dan berfikir reflektif kami dapatkan secara jelas.
Berfikir kritis cirinya mampu berpikir secara terorganisasi dan rasional, mampu menghubungkan ide atau fakta secara logis, dan mungkin membutuhkan berbagai keterampilan berpikir seperti analisis data untuk membuat kesimpulan yang beralasan, pengembangan hipotesis, ataupun mengevaluasi kredibilitas sumber. Sedangkan berpikir reflektif mampu untuk merefleksikan perasaan, emosi, pengalaman, dan mampu menghubungkan semua bersama-sama dengan pengetahuan yang didapat.Berpikir reflektif adalah bagian dari berfikir kritis.
Berpikir reflektif merupakan kemampuan untuk menghubungkan pengetahuan yang diperolehnya dengan pengetahuan sebelumnya sehingga diperoleh kesimpulan untuk menyelesaikan persoalan. John Dewey pernah mengulas tentang berpikir reflektif. Dewey mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang (anak-anak) diajak ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuannya adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif.
Mengingat kemampun berpikir reflektif ini penting, maka lembaga pendidikan harus memberikan pengalaman dan proses ke arah berpikir reflektif. Program-program sekolah yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide, tentu saja disesuaikan dengan tahapan berpikir reflektif. Sebagai contoh, SMA Muhammadiyah program Khusus Kottabarat menggerakkan siswa kelas X dalam program Live In Society.
Dalam program ini, siswa belajar memberikan kontribusi untuk kemajuan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan pemberdayaan. Setelah mengikuti kegiatan tersebut, siswa mengumpulkan data, menyusun penjelasan dan fenomena yang terjadi di lokasi dan menuliskannya dalam bentuk artikel dan mengaitkan dengan pengalaman sehingga menghasilkan kesimpulan. Semoga sedikit tulisan ini bermanfaat untuk membuka perspektif dalam pengembangan dunia pendidikan, khususnya di Muhammadiyah.
Ditulis oleh : Hendro Susilo (Pengajar di SMA Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta)
Diskusi