SMA Muhammadiyah PK Kottabarat Surakarta tergerak untuk mengadakan sebuah kegiatan yang berlangsung selama tiga hari dua malam yang bernama “Live in Society”. Kegiatan ini dilaksanakan di Dusun Pancot, Desa Kalisoro, Karanganyar, Jawa Tengah. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meneliti kearifan lokal yang ada di Dusun Pancot. Lokasi ini dipilih karena pertimbangan-pertimbangan yang telah ditentukan, terutama terkait dengan kearifan lokal dan karakteristik masyarakatnya.
Pancot berada di daerah lereng Gunung Lawu yang berada di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Kondisi ekonomi masyarakat Dusun Pancot terbilang sudah mulai maju.
Jika berbicara mengenai kearifan lokal yang ada, Dusun Pancot memiliki banyak sekali hal unik yang dapat ditemui di sana. Keunikan-keunikan tersebut meliputi cerita legenda, kesenian, upacara adat, sistem pertanian, sistem pengairan, sistem keamanan, pola komunikasi masyarakat, karakteristik masyarakat, dan lain sebagainya. Keanekaragaman-keanekaragaman tersebutlah yang menjadikan penulis mengangkat topik ini.
Asal-usul Dusun Pancot
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang ksatria, buto, dan Mbok Randha. Pada suatu hari Mbok Randha sedang memasak dan secara tidak sengaja ia mengiris jarinya sendiri dan masuk ke dalam masakannya lalu masakan tersebut disajikan kepada buto. Tanpa disangka sang buto justru ketagihan dengan masakan seperti itu dan sang buto ingin setiap masakan yang disajikan kepadanya harus ada tumbalnya.
Singkat cerita, tumbal yang ada di daerah tersebut habis dan hanya tersisa anak dari Mbok Randha. Mbok Randhapun menolak anaknya dijadikan tumbal dan mengadu pada ksatria yang bernama Pringgodani tentang masalah ini. Lalu ksatria menyampaikan pada sang buto bahwa jangan memakan anak dari Mbok Randha karena itu adalah anak satu-satunya.
Singkat cerita buto tetap memaksa ingin memakan anak Mbok Randha. Akhirnya ksatriapun menyamar menjadi anak Mbok Randha dan dijadikan tumbal di dalam makanan yang akan disajikan kepada sang buto. Di saat sang buto memakan masakan Mbok Randha dan ia mencoba menggigit masakan Mbok Randha, sang buto tidak kuat karena sang ksatria memiliki kekuatan sehingga tidak bisa dimakan oleh sang buto.
Ketika sang buto terus mencoba menggigit masakan Mbok Randha tubuhnya justru hancur berkeping-keping karena tidak kuat. Akhirnya pecahan gigi taring sang buto menjadi bawang putih di Desa Pancot, mata sang buto menjadi bawang merah di Desa Pancot, dan otaknya menjadi suatu gunung yang bernama Gunung Kapur di Bandardawung.
Potensi Pariwisata Dusun Pancot
Dusun Pancot memiliki potensi pariwisata yang cukup menjanjikan. Terdapat objek wisata yang dapat dikunjungi oleh wisatawan jika berkunjung ke Dusun Pancot. Objek wisata yang ada mayoritas berupa objek wisata alam. Salah satu potensi wisata yang paling menjanjikan di Dusun Pancot adalah air terjun bernama Kedung Sriti.
Seperti yang dikatakan oleh Santoso (26/10/2019) dikutip dari Tribunjateng.com, ia mengatakan “Itu (Kedung Sriti) salah satu potensi wisata. Namun perlu ada sarpras yang mendukung, seperti askes masuk, toilet, dan tempat sampah. Sehingga pengunjung nyaman dan aman.”
Objek wisata ini masih tergolong baru. Sebelumnya, air terjun ini tidak dapat dijangkau karena belum tersedianya jalur menuju kesana. Barulah setelah dilakukan pembersihan oleh warga sekitar dan pemuda karang taruna setempat air terjun ini dapat dikunjungi. Air terjun ini memiliki ketinggian kurang lebih 10 meter.
Wisatawan yang pergi ke sini akan disuguhi air terjun yang jernih dan segar. Wisatawan juga dapat berendam di bawah derasnya aliran air yang segar. Akses menuju Kedung Sriti terbilang masih cukup sulit dan panjang. Jika ingin menuju air terjun ini maka trek yang harus dilewati adalah jalan setapak yang memiliki kontur tanah dan akan sangat licin ketika musim penghujan. Untuk harga tiket masuknya pengunjung cukup membayar seikhlasnya saja.
Kearifan Lokal Dusun Pancot
Berbicara mengenai kearifan lokal, Dusun Pancot sudah tidak perlu diragukan lagi kapabilitasnya. Bermacam-macam kearifan lokal dapat ditemui di dusun ini. Budaya-budaya dan kearifan lokal yang ada sejak zaman dahulu masih senantiasa dijaga dengan baik oleh masyarakat di dusun ini. Pola-pola kehidupan masyarakat yang unik juga tersedia di dusun yang terletak di lereng Gunung Lawu ini, seperti perkumpulan warga, tradisi kesenian, upacara adat, dan lain sebagainya. Berikut merupakan beberapa kearifan lokal yang ada di Dusun Pancot:
Handayani
Merupakan kegiatan berkelompok masyarakat desa. Dalam kegiatan ini terdapat budaya atau kebiasaan masyarakat yang unik yaitu tidak pernah mematikan kran air dan membiarkan air terus mengalir walaupun bak penampung sudah penuh. Sumber mata air yang digunakan adalah mata air pegunungan sekitar.
Untuk biaya perawatan, masyarakat dikenakan biaya lima ribu per bulan dan dibayarkan kepada pengurus. Nama kelompok Handayani sendiri tidak memiliki arti khusus. Handayani terdiri dari 38 kartu keluarga dengan 55 rumah sebagai anggotanya.
Gita Laras
Yaitu perkumpulan ibu-ibu yang bertugas di bagian makanan atau katering. Biasanya bekerja ketika Pengajian Jumat Berkah. Laba dari Gita Laras ini tidak diambil oleh ibu-ibu Gita Laras, tetapi diserahkan ke dalam kas desa.
Reog
Kesenian ini bermula dari para pedagang dari Jawa Timur yang berdagang ke daerah Tawangmangu. Mereka membawa dagangan dan juga mengenalkan kesenian reog pada masyarakat Tawangmangu. Akhirnya masyarakat Tawangmangu terinspirasi untuk membuat reog yang lebih kecil. Reog digunakan sebagai pertunjukan ketika acara-acara tertentu. Reog ini memiliki suatu komunitas tersendiri yang selain melakukan pertunjukan, komunitas ini juga rutin melakukan pertemuan satu minggu satu kali.
Selain itu, kegiatan yang dilakukan kemunitas ini yaitu bersih-bersih di daerah pengumpulan sampah satu minggu dua kali.
Selain tiga kearifan lokal yang disebutkan diatas, Dusun Pancot sebenarnya masih memiliki kearifan lokal yang lainnya, seperti Upacara Mandhasiya, kesenian wayang, kesenian karawitan, dan lain sebagainya.
Sistem Keamanan Dusun Pancot dan Keunikan Budaya Masyarakatnya
Seperti pendapat dari Awaloeddin (2003: 160) dikutip dari JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK Vol. 02 No. 01 Juni 2019, bahwa untuk memelihara sekaligus menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, masyarakat harus ikut aktif berpartisipasi.
Sedangkan untuk pelaksanaan sistem keamanan dan ketertiban lingkungan ini yang merupakan salah satu tugas pokok Polri sebagai pembina, dengan lebih memfungsikan para Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) di tiap-tiap kelurahan atau desa sebagai ujung tombak dan sekaligus pembina masyarakat desa dalam hal keamanan dan ketertiban lingkungan.
Berdasarkan pendapat dari Awaloeddin di atas, lumrahnya masyarakat harus turut berpartisipasi dalam menjaga keamanan di lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya adalah ronda malam. Tetapi hal ini tidak ditemui di Dusun Pancot.
Lantas, bagaimana cara masyarakat Desa Pancot dalam menjaga keamanan lingkungannya?
Dari banyaknya keanekaragaman kearifan lokal di Dusun Pancot, terdapat satu hal yang menarik perhatian karena hal ini cukup unik, yaitu sistem keamanan yang terdapat di sana. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Pak Agus yang merupakan warga setempat, ternyata Dusun Pancot sendiri tidak menerapkan sistem ronda malam yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat desa lain.
Di sana juga tidak ditemukan adanya pos ronda sama sekali. Pada malam hari, warga tidak ada yang berkeliling membawa kentongan atau mengambil uang jimpitan seperti yang dilakukan masyarakat di desa pada umumnya.
Selain itu, ada dua hal yang sangat unik dan menarik perhatian. Yang pertama, kebiasaan mesyarakat Dusun Pancot yang tidak mengunci pintu rumah mereka di malam hari. Ketika hari sudah mulai larut malam, para warga tidak nampak ada yang mengunci pintu-pintu rumahnya.
Bahkan ada juga yang pintu rumahnya masih tetap terbuka padahal waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Hal ini tergolong unik karena di daerah perkotaan tidak mungkin bisa ditemui hal semacam ini mengingat daerah perkotaan sangat rawan dengan pencurian.
Kedua, kebiasaan meninggalkan kunci motor mereka tetap tergantung di motor yang mereka parkir di depan rumah. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang lumrah disana. Warga biasanya meninggalkan kunci motor mereka tergantung ketika mereka sedang bertani, rewang, melaksanakan ibadah, dan sebagainya.
Bahkan ketika malam hari, para warga memarkir motornya di depan rumah tanpa mencabut kunci motornya. Terdengar sangat berisiko tetapi hal ini sudah menjadi kebiasaan yang tertanam di benak masyarakat Dusun Pancot.
Keunikan-keunikan mengenai sistem keamanan tersebut tentu memiliki beberapa faktor yang menjadikan alasan warga melakukannya. Pertama, Dusun Pancot sendiri terletak jauh dari jalan raya. Jika ingin menuju dusun ini, perlu melalui jalan desa yang memakan waktu sekitar lima sampai sepuluh menit. Ini menjadi faktor paling kuat mengapa keunikan-keunikan di atas bisa terjadi.
Kedua, di dalam Dusun Pancot hanya ada jalan kecil yang bisa dilalui kendaraan roda dua. Mobil sebenarnya juga memungkinkan tetapi sangat riskan karena jalannya yang menanjak dan kecil. Ini juga menjadi salah satu alasan karena keterjangkauan yang bisa dibilang sedikit sulit untuk dilalui masyarakat dari luar dusun.
Ketiga, hubungan antar masyarakat yang sangat baik. Mereka memiliki rasa saling percaya antara satu sama lain yang sangat tinggi, sehingga memunculkan rasa aman antar warganya. Jika terjadi kehilanganpun biasanya hanya karena tertukar atau terbawa warga lain.
Hal ini menjadi alasan paling mendasar mengapa tanpa menerapkan ronda malampun Dusun Pancot masih bisa aman dari tindakan kriminal khususnya pencurian. Pak Agus yang menjadi narasumber sempat diwawancarai dan beliau mengatakan bahwa sangat jarang terjadi tindak pencurian di Dusun Pancot. Dusun Pancot tergolong sangat aman dari tindak pencurian.
Berdasarkan urian-uraian diatas, sistem keamanan Dusun Pancot sebenarnya terletak pada rasa percaya antar warganya yang sangat kuat dan juga adanya faktor-faktor yang berkorelasi sehingga ketiadaan ronda malam tidak menjadi masalah.
Menurut Hasbullah dalam Agus Suryono (2012) berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama.
Kepercayaan antar masyarakat penting untuk ikut serta dalam proses pembangunan dan menghindari situasi kerawanan sosial dan ekonomi. Kurangnya kepercayaan akan menumbuhkan sifat apatis dan menyimpang dari norma dan nilai yang ada, yang dapat menghambat proses pembangunan. Oleh karena itu, tindakan memperkuat kepercayaan antar masyarakat untuk meningkatkan proses pembangunan dan menciptakan masyarakat yang lebih maju dan stabil perlu dilakukan.
Hikmah yang dapat diambil dari sistem keamanan Dusun Pancot adalah kunci dari keutuhan suatu kelompok masyarakat yaitu salah satunya rasa saling percaya satu sama lain, sehingga hal tersebut dapat memunculkan perasaan aman antar masyarakatnya. Keharmonisan juga tercipta dari rasa saling percaya sehingga dapat meningkatkan rasa peduli antar sesama.
Ditulis oleh : Anargya Putra Wijayasa (Siswa SMA Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta)
Diskusi