SOLO, MUHAMMADIYAHSOLO.COM – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengajak agenda politik 2024 digunakan untuk mengutamakan kepentingan rakyat. Terutama di tengah pekerjaan rumah Bangsa Indonesia yang begitu banyak.
Menurutnya, mengutamakan kepentingan rakyat jauh lebih penting dibandingkan dengan fokus membawa pragmatisme agenda politik golongan.
Para elit, menurut Haedar wajib menunjukkan nasionalisme otentik dengan memenuhi amanat konstitusi melindungi Indonesia beserta segenap tumpah darahnya. Nasionalisme, menurutnya bukanlah komoditas politik yang layak digunakan untuk sekadar mencari popularitas.
“Pada undang-undang dan kebijakan itu nyaris serba asing. Investasi, tenaga kerja, nakes dan dokter, belum impor dan lain-lain. Oke di globalisasi kita tidak bisa menghindari. Tapi adakah kebijakan strategis bahwa ada proses untuk menjaga nasionalisme kita dan tetap melindungi kepentingan-kepentingan dalam negeri kita, kedaulatan kita di tengah persaingan global yang jikalau kita terlepas secara terbuka kita akan jadi objek saja,” ujarnya, Kamis (22/6).
“Di sini perlu komitmen dari eksekutif, legislatif, sampai yudikatif. Kalau tidak kita yang menjaganya, siapa lagi?” imbuhnya sebagaimana dilansir dari laman resmi PP Muhammadiyah.
Di samping itu, Haedar ikut menyoroti soal proses tata negara yang dianggap mulai tidak ideal. Misalnya perubahan bentuk dan kewenangan lembaga negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan berubahnya fungsi MPR, otomatis kewenangan tertinggi ada di sembilan hakim MK. Hal ini, kata dia adalah efek dari ketidaksempurnaan reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 yang pada akhirnya justru membawa iklim politik yang semakin liberal dan transaksional.
“Dulu itu MPR mewakili utusan dan golongan, ok dulu disalahgunakan (Orba). Tapi setelah dirombak, hanya sembilan orang yang nyaris hampir satu warna. Dan dengan sembilan orang itu bisa menentukan hitam putihnya negeri ini dan kita tidak bisa menolak termasuk terakhir perpanjangan KPK, ini problem ketatanegaraan yang harus dipikirkan,” jelas Haedar.
Untuk diketahui, sebelum amandemen, MPR adalah lembaga negara tertinggi dengan anggota berjumlah 920 orang yang di antaranya adalah utusan daerah dan utusan golongan yang memiliki kewenangan untuk mengubah, menetapkan UUD, GBHN, memilih presiden dan wakil presiden, dan memberhentikan presiden dan wakil presiden.
Namun setelah amandemen, MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi. Anggota MPR berubah menjadi anggota DPR dan anggota DPD hasil Pemilu. Sedangkan kewenangan MPR di atas tidak lagi berlaku kecuali setelah diproses di MK.
“Bisakah kita menitipkan hanya pada sembilan orang. Ini integritas yang harus di tingkat malaikat sebenarnya. Bisakah kita menuntut mereka punya integritas seperti malaikat? karena mereka mengganti (tanggungjawab) 920 orang menjadi 9 orang,” kritik Haedar.
Dari perubahan ini, Haedar memaklumi dengan prihatin jika kemudian setiap perumusan RUU selalu berhasil menjadi produk UU dan nyaris tidak mengakomodasi penolakan dan suara-suara keberatan dari masyarakat sipil.
Masalah-masalah substansial seperti inilah yang menurutnya layak untuk dibawa oleh para elit politik guna dievaluasi dan merumuskan arah Indonesia ke depan yang tidak tercerabut dari fondasi nilai, cita-cita nasional, dan filosofi Negara Republik Indonesia.
“Jadi ini soal nasionalisme, maka kita ketuk hati setiap elit, warga dan institusi politik kenegaraan kita yang selama ini bersuara tentang nasionalisme. Adakah kita mereaktualisasikan nasionalisme untuk melindungi kepentingan nasional kita?” tanya Haedar retoris. (afn)
Ditulis oleh : Afn/Yusuf
Diskusi