Oleh : Hendro Susilo
(Pendidik di Perguruan Muhammadiyah Kottabarat)
Menarik bagi saya membaca ulasan artikel berjudul Membangun Birokrasi yang Lincah di harian Kompas,edisi Selasa (19/1/21) yang di tulis oleh Eko Prasojo. Kita tahu, berbagai perubahan disruptif saat ini tengah terjadi. Eko Prasojo mengungkapkan ada empat (4) perubahan besar yang sedang terjadi. Pertama, krisis pandemi Covid-19, kedua pesatnya digitalisasi dan konvergensi teknologi dalam berbagai bidang kehidupan, ketiga pergeseran generasi tua ke generasi milenial (gen Y dan gen Z), keempat menguatnya fleksibilitas dan mobilitas masyarakat secara virtual.
Dalam artikel tersebut, Eko Prasojo menyoroti meningkatnya fenomena fleksibilitas global. Hal ini dibuktikan dengan hasil survey Robert Walters di tahun 2019 yang menunjukkan perubahan fundamental profil pasar tenaga kerja. Sebanyak 81% para profesional menyukai untuk memulai dan mengakhiri pekerjaan secara fleksibel, sebanyak 52% profesionalitas setuju bahwa fleksibiltas akan meningkatkan komitmen dalam pekerjaan dan sebanyak 40% pencari kerja akan menolak menerima pekerjaan jika tidak memenuhi kebutuhan bekerja secara fleksibel.
Terkait generasi milenial, terdapat studi dari Harvard Business Review di tahun 2019, bahwa motivasi bekerja kaum milenial mengalami perubahan yang mendasar. Dimana, fleksibilitas waktu dan tempat bekerja menempati urutan pertama (68%) diikuti untuk akses mengikuti pelatihan dan pengembangan (48%) dan hanya (38%) yang memiliki motivasi gaji dan benefit serta (35%) yang menginginkan kesempatan interpreuneurship dengan inovasi.
Menguatnya fenomena fleksibilitas, dibaca dan dimaknai oleh Eko Prasojo agar sektor pelayanan publik melakukan transformasi birokrasi. Dimana, DNA budaya dan struktur dasar birokrasi di Indonesia sangat kaku, tradisional birokratis, dan rule based harus segera berbenah agar memiliki tatanan baru birokrasi yang selalu menyesuaikan dengan berbagai perubahan lingkungan strategis, perubahan harapan masyarakat, dan kebutuhan pasar yang sehat dan kuat.
Lantas, apa kaitan artikel Eko Prasojo tersebut dengan judul artikel yang saya tulis diatas? Ketika saya mencermati, timbul pertanyaan dalam benak saya bagaimana halnya dengan bidang pendidikan?, bagaimana sisi pengelolaan birokrasi pendidikan dan pengelolaan lulusan (siswa) yang notabene mereka adalah generasi milenial yang memiliki ciri dan karakteristik tertentu ? Apa yang harus di baca oleh pengelola pendidikan mengenai peningkatan fenomena fleksibilitas dikalangan milenial? Bagaimana strategi antisipasi perubahan besar yang sedang terjadi (disruptif) di berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan di dalamnya ?
Kompleksitas perubahan yang terjadi di dunia pendidikan, memerlukan strategi multidimensi untuk mengurainya. Fokus lembaga (dalam hal ini sekolah), bagaimana membangun relevansi dan menjawab kebutuhan masyarakat. Salah satu usaha untuk me-reform pendidikan menurut Robert Marzano bisa dilakukan melalui desain kurikulum. Maka dari itu, tulisan ini mencoba untuk menelaah strategi desain kurikulum untuk antisipasi perubahan-perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat.
Strategi adaptasi kurikulum beragam, pengembangan kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa di sekolah tentunya. Beberapa strategi yang dapat dilakukan terhadap pengembangan kurikulum standar/ reguler antara lain duplikasi (meniru atau menggandakan), modifikasi (menambah untuk disesuaikan), substitusi (mengganti), omisi (menghilangkan) dan eskalasi (dinaikkan tingkat kualifikasi). Tujuan dari pengembangan kurikulum ini tentunya untuk menghadirkan kurikulum sekolah yang sesuai dengan karakter siswa, terhindarnya siswa dari munculnya underachievement dan jaminan ketercapaian KD.
Terkait fenomena perubahan yang terjadi (disruptif), sekolah bisa menggunakan salah satu strategi model eskalasi kurikulum. Eskalasi merupakan sebuah proses adaptasi kurikulum dengan memberikan penekanan pada proses pendalaman suatu materi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal,berarti materi kurikulum ditambah kompleksitasnya dan tingkat kesukaran dinaikkan.Sedangkan secara horizontal pengalaman belajar yang diperkaya. Bisa juga sekolah melakukan pengayaan (enrichment) sebagai bentuk layanan memperkaya materi melalui kegiatan-kegiatan penelitian atau kegiatan di luar kelas yang bersifat out of box. Tujuan Eskalasi ini agar peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat tertentu dapat berkembang optimal dan sosial psikologisnya berkembang secara natural.
Pengembangan kurikulum ini bisa dilakukan dengan pendekatan rakayasa isi (content design) seperti eskalasi contohnya atau bisa juga dengan pendekatan rakayasa struktur (structure design) seperti sistem kredit /paket. Rekayasa isi bisa dilakukan dengan eskalasi kurikulum agar tuntutan level penguasaan profesional pendidikan bukan hanya mencapai tingkat kompetensi, tetapi bisa mencapai tingkat lebih tinggi dari sekedar kompetensi yakni proficient (cakap) dan expert (ahli).
Dalam hal pengembangan kurikulum, sekolah perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum antara lain berpusat pada potensi, kebutuhan dan kepentingan siswa, beragam dan terpadu, tanggap terhadap kemajuan dan perubahan ilmu pengetahuan (IPTEK), relevan dengan kebutuhan kehidupan dan menerapkan prinsip belajar sepanjang hayat.
Dengan beberapa prinsip tersebut, maka sekolah bisa fokus pada pengembangan kurikulum agar memiliki ke-khas-an (diferensiasi kurikulum) dengan fokus tingkat kecepatan belajar, dimana tingkat pengulangan yang minimal, penguasaan kurikulum nasional dalam waktu singkat, materi lebih abstrak serta mendalam, berorientasi pada kebutuhan siswa, belajar berkelanjutan dan mandiri serta mengupayakan ada interaksi siswa dengan pakar di bidang ilmu pengetahuan tertentu.
Dengan adanya perubahan disruptif dan fenomena peningkatan fleksibilitas, sekolah Swasta seperti Sekolah Muhammadiyah harus menyesuaikan diri dan menjawab tantangan perubahan zaman dengan memilih jalan berani melakukan adaptasi kurikulum agar memiliki kurikulum berdiferensiasi yang kelak bisa menjadi keunggulan. Sekolah swasta harus mampu membaca tanda-tanda dan kecenderungan perubahan yang sedang terjadi di masyarakat.
Sangatlah rugi, bila sekolah swasta mengelola kurikulum pendidikan hanya sesuai standar reguler kurikulum nasional. Bila ini terjadi, maka bersiap saja sekolah swasta akan kehilangan “aset” dan kepercayaan masyarakat. Sekolah swasta harus mampu membangun dan menjawab ekspektasi masyarakat terhadap sekolah swasta yang diangap memiliki ke-khusus-an sendiri oleh masyarakat.
Sekolah swasta harus mampu membangun layanan baru yang mendekati need siswa. Sekolah harus melakukan lompatan-lompatan yang cepat dan bergerak secara deret ukur, supaya dapat menciptakan berbagai inovasi dan produktivitas yang lebih baik. Membuka kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan saling berbagi hasil (outcome) dan dampak (impact) pendidikan terhadap masyarakat. Dengan demikian, eksistensi sekolah swasta bisa terjaga, salah satu ikhtiarnya dengan pengembangan kurikulum standar dengan kurikulum yang mengkontekstualisasikan kebutuhan siswa, personalisasi kurikulum ataupun
Mendesain kurikulum khas sesuai tujuan sekolah masing-masing dengan meng-analisis kurikulum yang komprehensif disesuaikan minat siswa.